Rabu, 13 Juni 2018

Jalan Beronak Sebelum Riedel dan Schwarz


Sejarah penginjilan di Sulawesi Utara termasuk yang tertua di Indonesia. Hanya dua puluh enam tahun sesudah Portugis menemukan Maluku, sejarah itu sudah dimulai. Adalah kapten Portugis bernama Antonio Galvao yang merintisnya, dan itu terjadi di suatu tempat di pesisir Sulawesi Utara pada tahun 1538.



Sayangnya, siapa penginjil yang terlibat dan dimana persisnya kejadian itu berlangsung, kita tidak tahu. Sumber-sumber yang ada – termasuk sebuah risalah yang ditulis oleh Kapten Galvao sendiri – tidak memerincinya. Namun demikian apa yang diupayakan itu tentu tak bisa diabaikan. Sang Kapten telah membuka jalan bagi munculnya pembaptisan di pulau Manado Tua dua puluh lima tahun kemudian. Pembaptisan ini tercatat dalam sumber-sumber resmi Gereja Katolik, dan dipakai sebagai tonggak awal masuknya agama Kristen di Minahasa.



Manado Tua memang berhak untuk menjadi yang pertama. Cerita-cerita lisan dari Sangihe, Siau, dan Bolaang-Mongondow memberi indikasi bahwa pulau kecil di sebelah barat Bunaken ini pernah menjadi pusat dari suatu jaringan perdagangan lokal Sulawesi Utara. Di bawah kondisi itu, namanya sudah dikenal di Ternate jauh sebelum kedatangan bangsa barat, dan ketika orang Portugis muncul pada tahun 1512, nama ini tentu masuk di antara nama-nama tempat yang mereka dengar dari penduduk lokal Ternate. Faktanya, tak lama sesudah itu, kapal-kapal Portugis sudah singgah di Manado Tua dan ini menjelaskan mengapa nama “manado” sudah tertera di sebuah peta dunia sedini tahun 1541.  Ketika kemudian Islam-Ternate dan Kristen-Portugis terlibat dalam persaingan meluaskan pengaruh, Manado Tua memetik kehormatan untuk menjadi yang pertama dikunjungi oleh seorang pekabar Injil (penambahan kata “tua” di belakang nama ini baru terjadi pada masa Belanda, yaitu setelah ‘manado’ yang di daratan berkembang dan menggantikan posisinya).



Waktu itu, ketika mengetahui bahwa Sultan Ternate, Hairun, sedang menyiapkan armada untuk menaklukkan Sulawesi Utara, penguasa Portugis di Ternate – Henrique de Sa, langsung mendahului. Sebuah armada kecil dengan tujuan akhir Tolitoli dia kirim dalam bulan Mei 1563. Di antara penumpang yang ikut dengan armada itu terdapatlah seorang imam Katolik bernama Diogo de Magelhães yang bertugas mengabarkan Injil.



Manado Tua menjadi tempat persinggahan pertama dari armada itu. Begitu tiba, Magelhães tak membuang-buang waktu. Setelah mengajar selama 14 hari, imam dari Tarekat Yesuit ini langsung membaptis raja dan 1500 penduduknya. Karena kebetulan raja dari Pulau Siau juga sedang berada disitu, raja ini pun ikut dibaptis. Pembaptisan Raja Siau ini (yang menurut tradisi lisan bernama Pasumah), menjadi momentum awal dari masuknya Katolik di Kepulauan Sangihe. Kepulauan ini kemudian menjadi pangkalan misi, dan ketika Belanda merebut Maluku, peran imam-imam Portugis dari Ternate digantikan oleh imam-imam Spanyol.



Karya Magelhães punya arti penting bagi perkembangan kristenisasi selanjutnya. Lewat karya ini, Manado Tua tercatat sebagai ladang garapan oleh misi yang berpangkalan di Ternate. Tak kurang, rasul Asia Fransiscus Xaverius sendiri ikut memberi perhatian.



Tapi meskipun begitu, pelayanan tak berlangsung teratur. Tantangan yang dihadapi misi sangat berat. Dalam konteks waktu itu, Manado Tua dan bahkan seluruh wilayah Sulawesi Utara terletak di “batas terluar” dari pengetahuan geografi orang Portugis mengenai Kepulauan Maluku. Bahkan bentuk pulau Sulawesi sendiri pun masih belum terbayang oleh mereka; mereka menyangka Sulawesi terdiri dari beberapa pulau, dan semenanjung utara dan selatan ada di dua pulau yang berbeda.



Pada sisi yang lain, kendala di bidang transportasi juga sangat berat. Kapal-kapal kayu yang masih mengandalkan layar, serangan bajak laut atau kapal-kapal negara saingan, cuaca yang tidak bersahabat, gizi yang buruk serta serangan penyakit misterius, semuanya bisa membuat seorang imam yang dikirim Eropa tidak pernah mencapai Maluku. Jika seorang imam di Ternate mengirimkan surat ke Portugal untuk meminta tenaga penginjil, dia baru bisa berharap menerima jawabannya setelah tiga setengah tahun kemudian. Kekurangan imam membuat ladang-ladang garapan dari pangkalan misi Ternate sering terlantar.



Tapi tantangan paling berat datang dari sisi lain. Pada tahun 1570, Sultan Hairun Ternate dibunuh oleh Portugis. Kebencian langsung menyala, dan ini berujung pada jatuhnya benteng Portugis di Ternate. Kejatuhan ini membuat misi kehilangan tempat berpijak. Mereka harus meninggalkan Ternate dan berpindah-pindah tempat. Mula-mula mereka ke Ambon, sesudah itu ke Tidore. Tapi belum lagi kedudukan mereka pulih, orang-orang Belanda sudah muncul di Maluku (tahun 1599). Pendatang yang satu ini tak cuma mau berdagang, tapi juga membawa roh perseteruan Protestan-Katolik dari benua Eropa. Di setiap tempat yang mereka kuasai, agama Katolik mereka larang dan ladang-ladang bekas misi mereka telantarkan. Sebagai akibatnya, misi memasuki tahun-tahun terakhirnya.  Sementara sebagian besar jemaat Kristen yang sudah dibentuk, kini beralih menjadi kafir.



Minahasa masih beruntung karena ada Spanyol yang menggantikan. Mereka datang lewat Filipina. Terhadap sekitar 60 orang Kristen yang konon sudah ada di Manado Tua, serta mungkin di beberapa tempat lain, mereka mencoba melanjutkan karya misi. Di antara imam yang mereka kirim terdapatlah Blas Palomino, anggota tarekat Fransiskan yang lahir di desa kecil Higuera de Arjona, Spanyol. Namanya patut dicatat karena dia adalah misionaris pertama yang berani masuk pedalaman Minahasa (April, 1619). Konon dia juga menulis sebuah karya tentang “bahasa Manado” yang mungkin menjadi karya linguistik pertama untuk Minahasa.



Sayangnya, bukan memberi tuaian, tanah Minahasa malah menuntut darahnya. Itu terjadi pada tanggal 30 Agustus 1622, dalam kunjungan kedua yang tidak dia rencanakan. Waktu itu, kapal yang dia tumpangi karam di suatu tempat, mungkin di dekat Kema sekarang. Palomino turun ke darat dan berusaha untuk menginjil lagi. Tapi penduduk tidak senang. Mereka menombaknya hingga tewas dan Palomino menjadi martir pertama untuk Minahasa.



Sesudah Palomino, tak banyak berita tentang misi yang kita ketahui kecuali bahwa di pedalaman ada aktifitas lagi. Tapi aktifitas kitu rupanya ‘menumpang’ pada operasi-operasi militer, dan ini berakibat buruk. Ketika seorang pemimpin Tomohon dilukai oleh seorang tentara, perang langsung meletus. Hampir seluruh pedalaman Minahasa dilaporkan bergolak. Puncaknya terjadi pada tanggal 10 Agustus 1643 ketika seorang bruder bernama Lorenzo Garralda dibunuh di desa Kali. Pos-pos misi yang baru dibentuk harus ditinggal dan misi untuk Minahasa menuju ke titik nadir. Kecuali beberapa kegiatan yang dikendalikan dari Kepulauan Sangihe, kita tak lagi mendengar ada usaha Katolik yang berarti disini.



Apa yang menarik dari periode di atas yaitu bahwa Manado Tua tidak lagi disebut-sebut dalam laporan misi. Misi nampaknya lebih memberi perhatian pada daratan Minahasa. Kita tidak tahu persis apa sebabnya. Tapi mungkin, dari kacamata misi ,daratan Minahasa lebih potensial dalam soal jumlah ‘jiwa yang perlu diselamatkan’. Sementara Manado Tua, meski menjadi tempat pertemuan dari banyak suku, dia hanya pulau kecil yang mobilitas penduduknya mungkin tinggi, dan juga sudah pernah ada pembaptisan.



Kita tinggalkan misi, dan beralih ke VOC. Sebagai ganti imam Katolik, Belanda mendatangkan pendeta Protestan dan mengupayakan penerjemahan Alkitab. Tapi karena Belanda disini adalah sebuah perusahan dagang yang bernama VOC, upaya ini dilumuri cacat. Misalnya, untuk mengatasi kesulitan dalam merekrut tenaga pendeta, Dewan Tertinggi VOC di Belanda memutuskan untuk “menerima saja para tukang atau orang sejenis, asalkan mereka mengenal sedikit Alkitab, dapat memberikan kesaksian yang baik tentang hidupnya, dan tidak terlalu muda lagi untuk menjadi penghibur orang sakit” (15 Juli 1614). Sementara Klasis Middleburg yang terlibat dengan pengadaan pendeta, juga mengeluarkan ketentuan yang tak kalah konyolnya, “dalam keadaan darurat, semua orang dibolehkan untuk melayani baptisan” (2 November 1620).



Tidak heran, tuduhan pun muncul; VOC menggunakan Injil untuk “menjinakkan” daerah-daerah yang akan dieksploitasi. Jika tuduhan ini benar, ini mungkin menjawab pertanyaan mengapa orang Minahasa harus menunggu sampai tahun 1663 sebelum bisa melihat pendeta pertama muncul. Nampaknya, VOC baru mengirim pendeta setelah sadar bahwa Minahasa adalah daerah penghasil beras yang potensil, dan bahwa beras itu penting untuk mempertahankan kedudukan mereka di Maluku yang sedang terancam oleh sikap bermusuhan dari Kesultanan Makasar. Sebagaimana diketahui, hubungan VOC dan Makassar pada masa itu sedang memburuk.



Di antara pendeta pertama yang dikirim VOC ke Minahasa terdapatlah Burun (1663), Fransiscus Dionisius (1674), Isaacus Huisman dan Jacobus Montanus (1675). Tapi mereka rupanya tidak menetap, sementara wilayah kerjanya juga bukan pedalaman. Mereka mungkin hanya melayani penduduk di Manado (daratan) yang terkait VOC. Dua informasi berikut bisa menggambarkan situasi waktu itu. Pada tahun 1668, ada peneguhan perkawinan antara seorang tentara Belanda dan seorang gadis Manado yang dilakukan di depan seorang pendeta. Pada tahun 1674, di Manado (daratan) sudah ada sebuah sekolah (yang juga berfungsi sebagai gereja) dengan 25 orang siswa dan 2 guru (seharusnya sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Minahasa dimulai dari sini, kecuali kalua Manado dianggap bukan tbagian dari anah Minahasa).



Tapi sesudah Montanus aktifitas pelayanan menurun. Selama kira-kira dua dekade sesudah kunjungannya, total pelayanan yang dilakukan di Manado konon hanya 25 kali. Malah sesudah tahun 1790 pelayanan terhenti karena tidak ada pendeta yang datang. Lagi-lagi muncul kecurigaan terhadap VOC; jangan-jangan Injil tak diperlukan lagi karena fungsinya sudah digantikan oleh Kontrak 16 Januari 1679 (yang dibuat antara VOC dan 11 walak Minahasa). Bagaimana tidak; dengan pengecualian beberapa gangguan dari pihak Tondano, kontrak yang kontroversial ini kelihatannya cukup berhasil untuk mengalirkan beras dari pedalaman Minahasa ke benteng VOC di Manado.



VOC ternyata tak abadi. Berbagai persoalan yang melilit – terutama korupsi – menuntun perusahan raksasa ini ke arah keruntuhan. Pada tanggal 31 Desember 1799 dia resmi dibubarkan dengan meninggalkan hutang sebesar 134 juta gulden serta tanah jajahan yang terentang dari Tanjung Harapan (Afrika) sampai Jepang. Bagi penginjilan, pembubaran ini merupakan persoalan, karena selama ini VOC yang membiayainya. Untung ada Nederlandsche Zendeling Genootschaap (NZG), sebuah lembaga penginjilan yang berdiri di Belanda dua tahun sebelum keruntuhan VOC, dan yang merupakan perkumpulan penginjil Protestan pertama untuk daratan Eropa. Lembaga inilah yang mengambil alih penginjilan di bekas jajahan VOC.



Di antara penginjil-penginjil yang dikirim NZG ke Minahasa, terdapatlah Johann F. Riedel dan Johann G. Schwarz yang tiba di Manado (Kema?) pada 12 Juni 1831 (156 tahun sesudah pendeta Montanus). Seperti kebanyakan pendahulunya, keduanya mula-mula hanya melayani orang-orang Kristen di pesisir. Tapi entah mengapa, mereka lalu memilih pedalaman; Riedel di Tondano, dan Schwarz di Langowan serta beberapa tempat lain.



Berbeda dari pendahulu-pendahulunya, kedua pendeta asal Jerman ini sekarang mendapat penghargaan lebih dari salah satu organisasi gereja di Minahasa. Mereka disebut perintis kekristenan Minahasa; hari kedatangan mereka diperingati sebagai Hari Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen Minahasa; kuburnya diziarahi anggota gereja. Sementara nama-nama seperti Magelhaéz, Palomino dan bahkan pendeta-pendeta pendahulu asal NZG sendiri dilupakan.  Salah satunya yaitu Gerrit Jan Hellendorn, pendeta NZG yang menyerahkan sekitar 100 orang jemaat awal Tondano kepada Riedel pada tanggal 25 Oktober 1831, dan yang berperan dalam membangun sekolah dan mencetak buku-buku pelajaran.  Jelas disini, ada upaya disengaja untuk ‘mengurangi’ peran mereka.



Metode yang dipakai Magelhães untuk membaptis 1500 orang sekaligus, boleh diragukan.  Motivasi penduduk Manado Tua kenapa mau dibaptis, boleh dipertanyakan.  Buah-buah dari pekerjaan para pendeta VOC yang perekrutannya asal-asalan itu, boleh diremehkan.  Tapi bahwa air permandian telah dipercikkan di Manado Tua pada bulan Juni 1563, dan bahwa di Manado sudah ada penduduk yang bisa membaca Alkitab sebelum Riedel dan Schwarz lahir, itu adalah fakta sejarah yang tak boleh dihapus.  Bahkan, jika dalam salah satu versi dongeng asal-usul orang Minahasa kita menemukan adanya nama-nama Alkitab seperti Adam, Ewa dan Maria (dan ini dicatat oleh Pendeta Nicolaas Graafland pada tahun 1860-an), itu juga bukti bahwa para pendahulu Riedel dan Schwarz sudah berbuat cukup.  Kita jangan membunuh sejarah.