Herman Teguh
yang saya lihat, yang saya rasakan
Jumat, 16 Agustus 2019
Daftar Burung Kepulauan Sangihe-Talaud
Untuk daftar burung, lihat lampiran dalam 'Daftar Berketerangan Burung-Burung Penting Kepulauan Sangihe-Talaud'
Rabu, 13 Juni 2018
Jalan Beronak Sebelum Riedel dan Schwarz
Sejarah penginjilan di Sulawesi Utara termasuk yang
tertua di Indonesia. Hanya dua puluh enam tahun sesudah Portugis menemukan
Maluku, sejarah itu sudah dimulai. Adalah kapten Portugis bernama Antonio
Galvao yang merintisnya, dan itu terjadi di suatu tempat di pesisir Sulawesi
Utara pada tahun 1538.
Sayangnya, siapa penginjil yang terlibat dan dimana
persisnya kejadian itu berlangsung, kita tidak tahu. Sumber-sumber yang ada –
termasuk sebuah risalah yang ditulis oleh Kapten Galvao sendiri – tidak
memerincinya. Namun demikian apa yang diupayakan itu tentu tak bisa diabaikan.
Sang Kapten telah membuka jalan bagi munculnya pembaptisan di pulau Manado Tua
dua puluh lima tahun kemudian. Pembaptisan ini tercatat dalam sumber-sumber
resmi Gereja Katolik, dan dipakai sebagai tonggak awal masuknya agama Kristen
di Minahasa.
Manado Tua memang berhak untuk menjadi yang pertama.
Cerita-cerita lisan dari Sangihe, Siau, dan Bolaang-Mongondow memberi indikasi
bahwa pulau kecil di sebelah barat Bunaken ini pernah menjadi pusat dari suatu
jaringan perdagangan lokal Sulawesi Utara. Di bawah kondisi itu, namanya sudah
dikenal di Ternate jauh sebelum kedatangan bangsa barat, dan ketika orang
Portugis muncul pada tahun 1512, nama ini tentu masuk di antara nama-nama
tempat yang mereka dengar dari penduduk lokal Ternate. Faktanya, tak lama
sesudah itu, kapal-kapal Portugis sudah singgah di Manado Tua dan ini
menjelaskan mengapa nama “manado” sudah tertera di sebuah peta dunia sedini
tahun 1541. Ketika kemudian
Islam-Ternate dan Kristen-Portugis terlibat dalam persaingan meluaskan
pengaruh, Manado Tua memetik kehormatan untuk menjadi yang pertama dikunjungi
oleh seorang pekabar Injil (penambahan kata “tua” di belakang nama ini baru
terjadi pada masa Belanda, yaitu setelah ‘manado’ yang di daratan berkembang
dan menggantikan posisinya).
Waktu itu, ketika mengetahui bahwa Sultan Ternate,
Hairun, sedang menyiapkan armada untuk menaklukkan Sulawesi Utara, penguasa
Portugis di Ternate – Henrique de Sa, langsung mendahului. Sebuah armada kecil
dengan tujuan akhir Tolitoli dia kirim dalam bulan Mei 1563. Di antara
penumpang yang ikut dengan armada itu terdapatlah seorang imam Katolik bernama
Diogo de Magelhães yang bertugas mengabarkan Injil.
Manado Tua menjadi tempat persinggahan pertama dari
armada itu. Begitu tiba, Magelhães tak membuang-buang waktu. Setelah mengajar
selama 14 hari, imam dari Tarekat Yesuit ini langsung membaptis raja dan 1500
penduduknya. Karena kebetulan raja dari Pulau Siau juga sedang berada disitu,
raja ini pun ikut dibaptis. Pembaptisan Raja Siau ini (yang menurut tradisi
lisan bernama Pasumah), menjadi momentum awal dari masuknya Katolik di
Kepulauan Sangihe. Kepulauan ini kemudian menjadi pangkalan misi, dan ketika
Belanda merebut Maluku, peran imam-imam Portugis dari Ternate digantikan oleh
imam-imam Spanyol.
Karya Magelhães punya arti penting bagi perkembangan
kristenisasi selanjutnya. Lewat karya ini, Manado Tua tercatat sebagai ladang
garapan oleh misi yang berpangkalan di Ternate. Tak kurang, rasul Asia
Fransiscus Xaverius sendiri ikut memberi perhatian.
Tapi meskipun begitu, pelayanan tak berlangsung
teratur. Tantangan yang dihadapi misi sangat berat. Dalam konteks waktu itu,
Manado Tua dan bahkan seluruh wilayah Sulawesi Utara terletak di “batas
terluar” dari pengetahuan geografi orang Portugis mengenai Kepulauan Maluku.
Bahkan bentuk pulau Sulawesi sendiri pun masih belum terbayang oleh mereka;
mereka menyangka Sulawesi terdiri dari beberapa pulau, dan semenanjung utara
dan selatan ada di dua pulau yang berbeda.
Pada sisi yang lain, kendala di bidang transportasi
juga sangat berat. Kapal-kapal kayu yang masih mengandalkan layar, serangan
bajak laut atau kapal-kapal negara saingan, cuaca yang tidak bersahabat, gizi
yang buruk serta serangan penyakit misterius, semuanya bisa membuat seorang
imam yang dikirim Eropa tidak pernah mencapai Maluku. Jika seorang imam di
Ternate mengirimkan surat ke Portugal untuk meminta tenaga penginjil, dia baru
bisa berharap menerima jawabannya setelah tiga setengah tahun kemudian.
Kekurangan imam membuat ladang-ladang garapan dari pangkalan misi Ternate
sering terlantar.
Tapi tantangan paling berat datang dari sisi lain.
Pada tahun 1570, Sultan Hairun Ternate dibunuh oleh Portugis. Kebencian
langsung menyala, dan ini berujung pada jatuhnya benteng Portugis di Ternate.
Kejatuhan ini membuat misi kehilangan tempat berpijak. Mereka harus
meninggalkan Ternate dan berpindah-pindah tempat. Mula-mula mereka ke Ambon,
sesudah itu ke Tidore. Tapi belum lagi kedudukan mereka pulih, orang-orang
Belanda sudah muncul di Maluku (tahun 1599). Pendatang yang satu ini tak cuma
mau berdagang, tapi juga membawa roh perseteruan Protestan-Katolik dari benua
Eropa. Di setiap tempat yang mereka kuasai, agama Katolik mereka larang dan
ladang-ladang bekas misi mereka telantarkan. Sebagai akibatnya, misi memasuki
tahun-tahun terakhirnya. Sementara
sebagian besar jemaat Kristen yang sudah dibentuk, kini beralih menjadi kafir.
Minahasa masih beruntung karena ada Spanyol yang
menggantikan. Mereka datang lewat Filipina. Terhadap sekitar 60 orang Kristen
yang konon sudah ada di Manado Tua, serta mungkin di beberapa tempat lain,
mereka mencoba melanjutkan karya misi. Di antara imam yang mereka kirim
terdapatlah Blas Palomino, anggota tarekat Fransiskan yang lahir di desa kecil
Higuera de Arjona, Spanyol. Namanya patut dicatat karena dia adalah misionaris
pertama yang berani masuk pedalaman Minahasa (April, 1619). Konon dia juga
menulis sebuah karya tentang “bahasa Manado” yang mungkin menjadi karya
linguistik pertama untuk Minahasa.
Sayangnya, bukan memberi tuaian, tanah Minahasa malah
menuntut darahnya. Itu terjadi pada tanggal 30 Agustus 1622, dalam kunjungan
kedua yang tidak dia rencanakan. Waktu itu, kapal yang dia tumpangi karam di
suatu tempat, mungkin di dekat Kema sekarang. Palomino turun ke darat dan
berusaha untuk menginjil lagi. Tapi penduduk tidak senang. Mereka menombaknya
hingga tewas dan Palomino menjadi martir pertama untuk Minahasa.
Sesudah Palomino, tak banyak berita tentang misi yang
kita ketahui kecuali bahwa di pedalaman ada aktifitas lagi. Tapi aktifitas kitu
rupanya ‘menumpang’ pada operasi-operasi militer, dan ini berakibat buruk.
Ketika seorang pemimpin Tomohon dilukai oleh seorang tentara, perang langsung
meletus. Hampir seluruh pedalaman Minahasa dilaporkan bergolak. Puncaknya
terjadi pada tanggal 10 Agustus 1643 ketika seorang bruder bernama Lorenzo
Garralda dibunuh di desa Kali. Pos-pos misi yang baru dibentuk harus ditinggal
dan misi untuk Minahasa menuju ke titik nadir. Kecuali beberapa kegiatan yang
dikendalikan dari Kepulauan Sangihe, kita tak lagi mendengar ada usaha Katolik
yang berarti disini.
Apa yang menarik dari periode di atas yaitu bahwa
Manado Tua tidak lagi disebut-sebut dalam laporan misi. Misi nampaknya lebih
memberi perhatian pada daratan Minahasa. Kita tidak tahu persis apa sebabnya.
Tapi mungkin, dari kacamata misi ,daratan Minahasa lebih potensial dalam soal
jumlah ‘jiwa yang perlu diselamatkan’. Sementara Manado Tua, meski menjadi
tempat pertemuan dari banyak suku, dia hanya pulau kecil yang mobilitas
penduduknya mungkin tinggi, dan juga sudah pernah ada pembaptisan.
Kita tinggalkan misi, dan beralih ke VOC. Sebagai
ganti imam Katolik, Belanda mendatangkan pendeta Protestan dan mengupayakan
penerjemahan Alkitab. Tapi karena Belanda disini adalah sebuah perusahan dagang
yang bernama VOC, upaya ini dilumuri cacat. Misalnya, untuk mengatasi kesulitan
dalam merekrut tenaga pendeta, Dewan Tertinggi VOC di Belanda memutuskan untuk
“menerima saja para tukang atau orang sejenis, asalkan mereka mengenal sedikit
Alkitab, dapat memberikan kesaksian yang baik tentang hidupnya, dan tidak
terlalu muda lagi untuk menjadi penghibur orang sakit” (15 Juli 1614).
Sementara Klasis Middleburg yang terlibat dengan pengadaan pendeta, juga
mengeluarkan ketentuan yang tak kalah konyolnya, “dalam keadaan darurat, semua
orang dibolehkan untuk melayani baptisan” (2 November 1620).
Tidak heran, tuduhan pun muncul; VOC menggunakan Injil
untuk “menjinakkan” daerah-daerah yang akan dieksploitasi. Jika tuduhan ini
benar, ini mungkin menjawab pertanyaan mengapa orang Minahasa harus menunggu
sampai tahun 1663 sebelum bisa melihat pendeta pertama muncul. Nampaknya, VOC
baru mengirim pendeta setelah sadar bahwa Minahasa adalah daerah penghasil
beras yang potensil, dan bahwa beras itu penting untuk mempertahankan kedudukan
mereka di Maluku yang sedang terancam oleh sikap bermusuhan dari Kesultanan
Makasar. Sebagaimana diketahui, hubungan VOC dan Makassar pada masa itu sedang
memburuk.
Di antara pendeta pertama yang dikirim VOC ke Minahasa
terdapatlah Burun (1663), Fransiscus Dionisius (1674), Isaacus Huisman dan
Jacobus Montanus (1675). Tapi mereka rupanya tidak menetap, sementara wilayah
kerjanya juga bukan pedalaman. Mereka mungkin hanya melayani penduduk di Manado
(daratan) yang terkait VOC. Dua informasi berikut bisa menggambarkan situasi
waktu itu. Pada tahun 1668, ada peneguhan perkawinan antara seorang tentara
Belanda dan seorang gadis Manado yang dilakukan di depan seorang pendeta. Pada
tahun 1674, di Manado (daratan) sudah ada sebuah sekolah (yang juga berfungsi
sebagai gereja) dengan 25 orang siswa dan 2 guru (seharusnya sejarah Pendidikan
Kristen di Tanah Minahasa dimulai dari sini, kecuali kalua Manado dianggap
bukan tbagian dari anah Minahasa).
Tapi sesudah Montanus aktifitas pelayanan menurun.
Selama kira-kira dua dekade sesudah kunjungannya, total pelayanan yang
dilakukan di Manado konon hanya 25 kali. Malah sesudah tahun 1790 pelayanan
terhenti karena tidak ada pendeta yang datang. Lagi-lagi muncul kecurigaan
terhadap VOC; jangan-jangan Injil tak diperlukan lagi karena fungsinya sudah
digantikan oleh Kontrak 16 Januari 1679 (yang dibuat antara VOC dan 11 walak
Minahasa). Bagaimana tidak; dengan pengecualian beberapa gangguan dari pihak
Tondano, kontrak yang kontroversial ini kelihatannya cukup berhasil untuk
mengalirkan beras dari pedalaman Minahasa ke benteng VOC di Manado.
VOC ternyata tak abadi. Berbagai persoalan yang
melilit – terutama korupsi – menuntun perusahan raksasa ini ke arah keruntuhan.
Pada tanggal 31 Desember 1799 dia resmi dibubarkan dengan meninggalkan hutang
sebesar 134 juta gulden serta tanah jajahan yang terentang dari Tanjung Harapan
(Afrika) sampai Jepang. Bagi penginjilan, pembubaran ini merupakan persoalan,
karena selama ini VOC yang membiayainya. Untung ada Nederlandsche Zendeling
Genootschaap (NZG), sebuah lembaga penginjilan yang berdiri di Belanda dua
tahun sebelum keruntuhan VOC, dan yang merupakan perkumpulan penginjil
Protestan pertama untuk daratan Eropa. Lembaga inilah yang mengambil alih
penginjilan di bekas jajahan VOC.
Di antara penginjil-penginjil yang dikirim NZG ke
Minahasa, terdapatlah Johann F. Riedel dan Johann G. Schwarz yang tiba di
Manado (Kema?) pada 12 Juni 1831 (156 tahun sesudah pendeta Montanus). Seperti
kebanyakan pendahulunya, keduanya mula-mula hanya melayani orang-orang Kristen
di pesisir. Tapi entah mengapa, mereka lalu memilih pedalaman; Riedel di
Tondano, dan Schwarz di Langowan serta beberapa tempat lain.
Berbeda dari pendahulu-pendahulunya, kedua pendeta
asal Jerman ini sekarang mendapat penghargaan lebih dari salah satu organisasi
gereja di Minahasa. Mereka disebut perintis kekristenan Minahasa; hari
kedatangan mereka diperingati sebagai Hari Pekabaran Injil dan Pendidikan
Kristen Minahasa; kuburnya diziarahi anggota gereja. Sementara nama-nama
seperti Magelhaéz, Palomino dan bahkan pendeta-pendeta pendahulu asal NZG
sendiri dilupakan. Salah satunya yaitu
Gerrit Jan Hellendorn, pendeta NZG yang menyerahkan sekitar 100 orang jemaat
awal Tondano kepada Riedel pada tanggal 25 Oktober 1831, dan yang berperan
dalam membangun sekolah dan mencetak buku-buku pelajaran. Jelas disini, ada upaya disengaja untuk
‘mengurangi’ peran mereka.
Metode yang dipakai Magelhães untuk membaptis 1500
orang sekaligus, boleh diragukan. Motivasi
penduduk Manado Tua kenapa mau dibaptis, boleh dipertanyakan. Buah-buah dari pekerjaan para pendeta VOC
yang perekrutannya asal-asalan itu, boleh diremehkan. Tapi bahwa air permandian telah dipercikkan
di Manado Tua pada bulan Juni 1563, dan bahwa di Manado sudah ada penduduk yang
bisa membaca Alkitab sebelum Riedel dan Schwarz lahir, itu adalah fakta sejarah
yang tak boleh dihapus. Bahkan, jika
dalam salah satu versi dongeng asal-usul orang Minahasa kita menemukan adanya
nama-nama Alkitab seperti Adam, Ewa dan Maria (dan ini dicatat oleh Pendeta Nicolaas
Graafland pada tahun 1860-an), itu juga bukti bahwa para pendahulu Riedel dan
Schwarz sudah berbuat cukup. Kita jangan
membunuh sejarah.
Langganan:
Postingan (Atom)